Rabu, 26 Mei 2010

ANEMIA


A. Pengertian

Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41 % pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht <37 % pada wanita. (Arif Mansjoer,dkk. 2001)

Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935).

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).

Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.















B. Etiologi

Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.
Penyebab umum dari anemia:
• Perdarahan hebat
• Akut (mendadak)
• Kecelakaan
• Pembedahan
• Persalinan
• Pecah pembuluh darah
• Penyakit Kronik (menahun)
• Perdarahan hidung
• Wasir (hemoroid)
• Ulkus peptikum
• Kanker atau polip di saluran pencernaan
• Tumor ginjal atau kandung kemih
• Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
• Berkurangnya pembentukan sel darah merah
• Kekurangan zat besi
• Kekurangan vitamin B12
• Kekurangan asam folat
• Kekurangan vitamin C
• Penyakit kronik
• Meningkatnya penghancuran sel darah merah
• Pembesaran limpa
• Kerusakan mekanik pada sel darah merah
• Reaksi autoimun terhadap sel darah merah
• Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
• Sferositosis herediter
• Elliptositosis herediter
• Kekurangan G6PD
• Penyakit sel sabit
• Penyakit hemoglobin C
• Penyakit hemoglobin S-C
• Penyakit hemoglobin E
• Thalasemia.

C. Patofisiologi

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki.









D. Manifestasi klinis

Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus kerempeng), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.

E. Komplikasi

Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak.

F. Pemeriksaan penunjang

Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun.
Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (molume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP). Pansitopenia (aplastik).
Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).
Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).
LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal : peningkatan kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.
Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa anemia, misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup lebih pendek.
Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).
SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).
Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau tinggi (hemolitik)
Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik).
Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia sehubungan dengan defisiensi masukan/absorpsi
Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)
TBC serum : meningkat (DB)
Feritin serum : meningkat (DB)
Masa perdarahan : memanjang (aplastik)
LDH serum : menurun (DB)
Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)
Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).
Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP).
Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel darah (aplastik).
Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan : perdarahan GI



G. Penatalaksanaan Medis

Tindakan umum :
Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang.
1. Transpalasi sel darah merah.
2. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
3. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
4. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan oksigen
5. Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
6. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.

Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :
1. Anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan :
Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.
Pemberian preparat fe
Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan
Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.
2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan pemberian cairan dan transfusi darah.







H. ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
Pengkajian pasien dengan anemia meliputi :

1) Aktivitas / istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunujukkan keletihan.

2) Sirkulasi
Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis, menstruasi berat (DB), angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia kompensasi).
Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia : abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung : murmur sistolik (DB). Ekstremitas (warna) : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera : biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia) (DB). Rambut : kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature (AP).

3) Integritas ego
Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah.
Tanda : depresi.

4) Eleminasi
Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine.
Tanda : distensi abdomen.

5) Makanan/cairan
Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi (DB). Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya (DB).
Tanda : lidah tampak merah daging/halus (AP; defisiensi asam folat dan vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB). Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah. (DB).

6) Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak mampuan berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah ; parestesia tangan/kaki (AP) ; klaudikasi. Sensasi manjadi dingin.
Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental : tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik : hemoragis retina (aplastik, AP). Epitaksis : perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis (AP).
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen samara : sakit kepala (DB)

8) Pernapasan
Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, ortopnea, dan dispnea.

9) Keamanan
Gejala : riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia,. Riwayat terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering infeksi.
Tanda : demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan ekimosis (aplastik).

10) Seksualitas
Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore (DB). Hilang libido (pria dan wanita). Imppoten.
Tanda : serviks dan dinding vagina pucat.


I. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia meliputi :

1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.

4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.

5. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.


J. Intervensi/Implementasi keperawatan

Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan pasien dengan anemia (Doenges, 1999) adalah :
1) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
Tujuan : Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.
- meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
Tingkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi perawatan dan pasien.
Rasional : mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bacterial. Catatan : pasien dengan anemia berat/aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.
Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.
Rasional : menurunkan risiko kolonisasi/infeksi bakteri.
Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi.
Motivasi perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk dan napas dalam.
Rasional : meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.
Tingkatkan masukkan cairan adekuat.
Rasional : membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah stasis cairan tubuh misalnya pernapasan dan ginjal.
Pantau/batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan.
Rasional : membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi. Perlindungan isolasi dibutuhkan pada anemia aplastik, bila respons imun sangat terganggu.
Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.
Rasional : adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi/pengobatan.
Amati eritema/cairan luka.
Rasional : indikator infeksi lokal. Catatan : pembentukan pus mungkin tidak ada bila granulosit tertekan.
Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional : membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen khusus dan mempengaruhi pilihan pengobatan.
Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).
Rasional : mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi local.

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : - menunujukkan peningkatan/mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium normal.
- tidak mengalami tanda mal nutrisi.
- Menununjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang sesuai.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi.
Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
Rasional : mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
Rasional : menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan mencegah distensi gaster.
Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan.
Rasional : gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka.
Rasional : meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.

Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
Rasional : membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.
Rasional : meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
Kolaborasi ; berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanyan masukkan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
Kriteria hasil : - melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)
- menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
Kaji kemampuan ADL pasien.
Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.
Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan kelemahan otot.
Rasional : menunjukkan perubahan neurology karena defisiensi vitamin B12 mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera.
Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.
Rasional : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan kurangi suara bising, pertahankan tirah baring bila di indikasikan.
Rasional : meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.
Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien istirahat bila terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan pasien melakukan aktivitas semampunya (tanpa memaksakan diri).
Rasional : meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan. Meingkatkan harga diri dan rasa terkontrol.


4) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
Tujuan : peningkatan perfusi jaringan
Kriteria hasil : - menunjukkan perfusi adekuat, misalnya tanda vital stabil.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.
Rasional : memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan membantu menetukan kebutuhan intervensi.
Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler. Catatan : kontraindikasi bila ada hipotensi.
Awasi upaya pernapasan ; auskultasi bunyi napas perhatikan bunyi adventisius.
Rasional : dispnea, gemericik menununjukkan gangguan jajntung karena regangan jantung lama/peningkatan kompensasi curah jantung.
Selidiki keluhan nyeri dada/palpitasi.
Rasional : iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/ potensial risiko infark.
Hindari penggunaan botol penghangat atau botol air panas. Ukur suhu air mandi dengan thermometer.
Rasional : termoreseptor jaringan dermal dangkal karena gangguan oksigen.
Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan /respons terhadap terapi.
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.




5) Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.
Tujuan : dapat mempertahankan integritas kulit.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi factor risiko/perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi.
Rasional : kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
Reposisi secara periodic dan pijat permukaan tulang apabila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur.
Rasional : meningkatkan sirkulasi kesemua kulit, membatasi iskemia jaringan/mempengaruhi hipoksia seluler.
Anjurkan pemukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun.
Rasional : area lembab, terkontaminasi, memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan.
Bantu untuk latihan rentang gerak.
Rasional : meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
Gunakan alat pelindung, misalnya kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara/air. Pelindung tumit/siku dan bantal sesuai indikasi. (kolaborasi)
Rasional : menghindari kerusakan kulit dengan mencegah /menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit.







K. Evaluasi

Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Lynda Juall Capenito, 1999:28)
Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :
1) Infeksi tidak terjadi.
2) Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
3) Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
4) Peningkatan perfusi jaringan.
5) Dapat mempertahankan integritas kulit.



















DAFTAR PUSTAKA
• Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
• http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia
• http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0611/30/104458.htm
• Supandiman I. Anemia pada penyakit hati. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. edisi
• ketiga.2001; 517-18.

• Fairbanks VF, Beutler E. Iron metabolisme. In Beutler E et al eds.6thed. Williams
• hematology. New York. Mc.Graw-Hill. 2001; 295-302.
ABLASIO RETINA


A. PENGERTIAN
Ablasio adalah pelepasan retina dari lapisan epitelium neurosensoris retina dan lapisan epitelia pigmen retina (Donna D. Ignativicius, 1991).
Ablasia retina adalah suatu penyakit dimana lapisan sensorik dari retina lepas. Lepasnya bagian sensorik retina ini biasanya hampir selalu didahului oleh terbentuknya robekan atau lubang didalam retina (P.N Oka, 1993), sedangkan menurut Barbara L. Christensen 1991.
Ablasio Retina juga diartikan sebagai terpisahnya khoroid di daerah posterior mata yang disebabkan oleh lubang pada retina, sehingga mengakibatkan kebocoran cairan, sehingga antara koroid dan retina kekurangan cairan.
Ablasio retina lebih besar kemunkinanya pada orang yang menderita rabun jauh (miopia) dan pada orang yang anggota keluarganya ada yang pernah mengalami ablasio retina. Merupakan penyakit mata gawat darurat, penderita mengeluh ada kabut dilapangan pandangnya secara mendadak seperti selubung hitam. Kalau mengenai makula lutea maka visusnya mundur sekali, bila ditanya mungkin ditemukan gejala ada bintik hitam sebelumnya dan penderita miopia tinggi.


Ablasia retina adalah suatu penyakit dimana lapisan sensorik dari retina lepas. Lepasnya bagian sensorik retina ini biasanya hampir selalu didahului oleh terbentuknya robekan atau lubang didalam retina , lepasnya lapisan saraf retina dari epitelium.Penyakit ini harus dioperasi,penderita tidak boleh terlalu banyak bergerak dan goyang supaya bagian retina yang sudah lepas tidak bertambah lepas lagi.
Ada 2 tipe ablasio retina :
Non rhemathogen retina detachmen :
a. Malignancy hypertensi
b. Choriodal tumor
c. Chorioditis
d. Retinopati
Rhemathogen retina detachmen :
a. Trauma
b. Degenerasi
c. Kelainan vitreus

B. ETIOLOGI
Penyakit ablasio retina dapat pula disebabkan oleh penyakit lain seperti tumor,peradangan hebat,akibat trauma atau sebagai komplikasi dari diabetes. Ablasio retina dapat terjadi secara spontan atau sekunder setelah trauma, akibat adanya robekan pada retina, cairan masuk kebelakang dan mendorong retina (rhematogen) atau terjadi penimbunan eksudat dibawah retina sehingga retina terangkat (non rhegmatogen), atau tarikan jaringan parut pada badan kaca (traksi). Penimbunan eksudat terjadi akibat penyakit koroid, misalnya skleritis, koroiditis, tumor retrobulbar, uveitis dan toksemia gravidarum. Jaringan parut pada badan kaca dapat disebabkan DM, proliferatif, trauma, infeksi atau pasca bedah.
Tanda dan Gejala Ablatio Retina :
• Fotopsia, munculnya kilatan cahaya yang sangat terang di lapang pandang.
• Muncul bintik-bintik hitam yang beterbangan di lapang pandang (floaters)
• Muncul tirai hitam di lapang pandang
• Tidak ditemukan adanya rasa nyeri atau nyeri kepala
C. PATOFISIOLOGI
Pada Ablatio Retina cairan dari vitreus bisa masuk ke ruang sub retina dan bercampur dengan cairan sub retina. Ablatio Retina dapat diklasifikasikan secara alamiah menurut cara terbentuknya:
1. Ablatio Rhegmatogen terjadi setelah terbentuknya tulang atau robekan dalam retina yang menembus sampai badan mata masuk ke ruang sub retina, apabila cairan terkumpul sudah cukup banyak dapat menyebabkan retina terlepas.
2. Ablatio oleh karena tarikan, terjadi saat retina mendorong ke luar dari lapisan epitel oleh ikatan atau sambungan jaringan fibrosa dalam badan kaca.
Ablatio eksudatif, terjadi karena penumpukan cairan dalam ruang retina akibat proses peradangan, gabungan dari penyakit sistemik atau oleh tumor intraocular, jika cairan tetap berkumpul, lapisan sensoris akan terlepas dari lapisan epitel pigmen.

















Pathway
Inflamasi intraokuler/ tumor perubahan dalam viterus

Konsentrasi as. Hidlorunat ber(-)

Peningkatan cairan eksudasi/serosa

Vitreus menjadi makin cair

Vitreus kolaps dan bengkak ke depan

Tarikan retina

Robekan retina

Sel-sel retina dan darah terlepas

Retina terlepas dari epitel berpigmen

Penurunan tajam pandang sentral

Ditandai dengan
• Floater dipersepsikan sebagai titik-titik hitam kecil/ rumah laba-laba
• Bayangan berkembang/ tirai bergerak dilapangan padang








D.MANIFESTASI KLINIK
Tabir yang menutupi penglihatan dan seperti melihat pijaran api, penglihatan menurun secara bertahap sesuai dengan daerah yang terkena, bila makula yang terkena maka daerah sentral yang terganggu.

E.PENATALAKSANAAN
Menghindari robekan lebih lanjut dengan memperhatikan penyebabnya, seperti :Foto koagulasi laser, krioterapi,retinopexy pneumatic, bila terjadi akibat jaringan parut dilaku kan vitrektomi, scleral buckling atau injeksi gas intraokuler.
UsahaPre-operatif :
Sedikitnya 5 – 7 hari sebelum operasi, penderita sudah harus masuk rumah sakit, harus tirah baring sempurna (Bedrest total). Kepala dan mata tidak boleh digerakan, mata harus di tutup segera, segala keperluan pen-derita dibantu. Kedua mata ditetesi midriatik sikloplegik seperti: Atropin tetes 1 % jangan menggunakan obat-obat mata dalam bentuk salep mata karena akan menghalangi jalannya operasi (kornea akan keruh akibat salep). Persiapan lainnya sama dengan persiapan operasi katarak, operasi ablasio retina mengguna kan anestesi umum tetapi bila menggunakan anestesi lokal maka 1 jam sebelum operasi diberikan luminal (100 mg) atau largactil (100 mg) IM, kemudian ½ jam sesudahnya diberi pethidine (50 mg) dan phenergan (25 mg) IM.
UsahaPost-operatif :
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam perawatan adalah posisi kepala, per-gerakan mata, obat-obat, lamanya mobilisasi dan pemeriksaan lanjutan (follow –up). Posisi kepala dan badan, arah miringnya kepala, tergantung posisi/keadaan sewaktu operasi yaitu kearah mana punksi cairan subretina dilakukan. Pada robekan yang sangat besar, posisi kepala dan badan dipertahankan sedikitnya 12 hari. Pergerakan mata, bila operasi dilakukan dengan kombinasi cryo atau diathermi koagulasi dengan suatu implant atau scleral buckling, maka kedua mata ditutup selama 48 – 72 jam sedang badan boleh bergerak untuk mencegah pergerakan matanya. Bila hanya menggunakan cryo atau diathermi saja mata ditutup selama 48 jam samapai cairan subretina diabsobsi. Bila robekan belum semua tertutup, maka kedua mata harus ditutup selama 12 – 14 hari, retina menempel kembali dengan kuat pada akhir minggu ketiga setelah operasi, karena itu selama periode 3 minggu itu diberikan instruksi sebagai berikut :
- Jangan membaca.
- Melihat televisi hanya boleh dari jarak 3 meter.
- Mata diusahakan untuk melihat lurus kedepan, bila berkendaran hendaknya mata ditutup.
Obat–obat:
Selama 24 jam post-operasi diberikan obat anti nyeri (analgesik) 3 X 500 mg, bila mual muntah berikan obat anti muntah. Sesudah 24 jam tidak perlu diberikan obat-obat, kecuali bila merasa sakit. Penggantian balut dilakukan setelah 24 jam, saat itu mata ditetesi dengan Atropin tetes steril 1 %. Bila kelopak mata bengkak, diberikan Kortikosteroid lokal disertai babat tindih (druk verban) dan kompres dingin.


















ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

a. Data Subyektif
• Pasien mengeluh tiba-tiba melihat kilatan cahaya terang dan bintik-bintik hitam yang beterbangan di ruang pandang.
• Pasien mengeluh melihat tirai yang menutupi lapang pandang.
• Pasien menyatkan takut dan cemas karena kehilangan fungsi penglihatan secara tiba-tiba.
b. Data Obyektif
• Dengan pemeriksaan ophtalmoskop indirek terlihat gambaran gelembung abu-abu atau lipatan-lipatan pada retina yang bergetar dan bergerak
• Aktifitas pasien terbatas
• Mata pasien tertutup dengan gaas
• Pasien mendapat obat tetes mata midryatil
• Wajah pasien tampak tegang dan cemas
• Pada pemeriksaan visus : OD 1/4 Os 2/60

Fokus pengkajian
• Klien mengeluh ada bayangan hitam bergerak.
• Gangguan lapang pandang.
• Melihat benda bergerak seperti tirai.
• Bila mengenai macula visus sentral sangat menurun
• Terjadi secara tiba-tiba/ perlahan-lahan
• Pemeriksaan funduskopi, blade, tear, hole
• Diperlukan tindakan pembedahan/ operasi.



Pemeriksaan Penunjang pada Ablatio Retina:

Pada pemeriksaan Funduskopi terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dan adanya retina yang berwarna merah, sering ditemukan pada daerah temporal superior. Bila bola mata bergerak terlihat robekan retina bergoyang, terdapat defek aferen pupil tekanan bola mata rendah. Bila tekanan bila mata meningkat maka terjadi glaukoma neomuskular pada Ablasi yang lama.
• Pemeriksaan visus
• Ophtalmoskop indirek
• USG mata
• Campur Visi

1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pre-operasi yang mungkin terjadi
a. Perubahan persepsi sensori melihat berhubungan dengan efek dari lepasnya saraf sensori dari retina.
Tujuan:
Tidak terjadi kehilangan penglihatan yang berlanjut.
Kriteria:
• Klien memahami pentingnya perawatan yang intensif/ bedrest total.
• Klien mampu menjelaskan resiko yang akan terjadi sehubungan dengan penyakitnya.
Rencana tindakan:
INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan klien untuk bedrest total Agar lapisan saraf yang terlepas tidak bertambah parah.
Berikan penjelasan tujuan bedrest total Agar klien mematuhi dan mengerti maksud pemberian/ perlakuan bedrest total.
INTERVENSI RASIONAL
Hindari pergerakan yang mendadak, menghentakkan kepala, menyisir, batuk, bersin, muntah. Mencegah bertambah parahnyalapisan saraf retina yang terlepas.
Jaga kebersihan mata Mencegah terjadinya infeksi, agar mempeermudah pemeriksaan dan tindakan operasi.
Berikan obat tetes mata midriatik- sikloplegikdan obat oral sesuai anjuran dokter. Diharapkan dengan pemberian obat-obat tersebut kondisi penglihatan dapat dipertahankan/ dicegah agar tidak menjadi parah.

b. Ansietas yang berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan
Tujuan;
Kecemasan berkurang.
Kriteria hasil:
• Klien mampu menggambarkan ansietas dan pola kopingnya.
• Klien mengerti tentang tujuan perawatan yang diberikan/ dilakukan.
• Klien memahami tujuan operasi, pelaksanaan ooperasi, pasca operasi, prognosisnya (bila dilakukan operasi).
Rencana tindakan:
INTERVENSI RASIONAL
Kaji tingkat ansietas: ringan, sedang, berat, panik. Untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat kecemasan klien sehingga memudahkan penanganan/ pemberian askep selanjutnya.
Bnerikan kenyamanan dan ketentraman hati. Agar klien tidak terlalu memikirkan penyakitnya.
Berikan penjelasan mengenai prosedur perawatan, perjalanan penyakit, dan prognosisnya. Agar klien mengetahui/ memahami bahwa ia benar sakit dan perlu dirawat.
INTERVENSI RASIONAL
Berikan/ tempatkan alat pemanggil yang mudah dijangkau oleh klien. Agar klien merasa aman dan terlindungi saat memeerlukan bantuan.
Gali intervensi yang dapat menurunkan ansietas. Untuk mengetahui cara mana yang efektif untuk menurunkan/ mengurangi ansietas.
Berikan aktivitas yang dapat menurunkan kecemasan/ ketegangan. Agar klien dengan senang hati melakukan aktivitas karena sesuai dengan keinginannya dan tidak bertentangan dengan program perawatan.

c. Resiko terhadapketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang aktivitas yang diperbolehkan dan yang dibatasi, obat-obatan, komplikasi, dan perawatan tindak lanjut.
Tujuan:
Klien mampu berintegrasi dengan program terapeutik yang direncanakan/ dilakukan untuk pengobatan, akibat dari penyakit dan penurunan situasi beresiko (tidak aman, polusi).
Kriteria hasil:
• Klien mengungkapkan ansietas berkurang tentang ketakutan karena ketidaktahuan, kehilangan kontrol atau kesalahan persepsi.
• Menggambarkan proses penyakit, penyebab, dan factor penunjang pada gejala dan aturan untuk penyakit atau kontrol gejala.
• Mengungkapkan maksud/ tujuan untuk melakukan perilaku kesehatan yang diperlukan dan keinginan untuk pulih dari penyakit dan penjegahan kekambuhan atau komplikasi.




Rencana tindakan:
INTERVENSI RASIONAL
Identifikasi faktor-faktor penyebab yang menghalangi penata laksanaan program terapeutik yang efektif. Agar diketahui penyebab yang menghalangi sehingga dapat segera diatasi sesuai prioritas.
Bangun rasa percaya diri. Agar klien mampu melakukan aktifitas sendiri/ dengan bantuan orang lain tanpa mengganggu program perawatan.
Tingkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien yang positif. Agar klien mampu dan mau melakukan/ melaksanakan program perawatan yang dianjurkan tanpa mengurangi peran sertanya dalam pengobatan/ perawatan dirinya.
Jelaskan dan bicarakan; proses penyakit, aturan pengobatan/ perawatan, efek samping prognosis penyakitnya. Klien mengerti dan menyadari bahwa penyakitnya memerlukan suatu tindakan dan perlakuan yang tidak menyenangkan.















DAFTAR PUSTAKA

http://knol.google.com/k/mohammad-andito/ablasio-ablatio-retina/mkhc7n3ejyzc/2#

http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/05/asuhan-keperawatan-pasien-dengan.html

http://medicastore.com/penyakit/984/Ablasio_Retina.html

http://myflazer.blogspot.com/2009/03/ablasio-retina.html

http://masternursing.blogspot.com/2009/07/normal-0-false-false-false_1477.html

Wibowo Daniel S.2005.ANATOMI TUBUH MANUSIA.Jakarta:Grasindo

http://www.rsmyap.com/content/view/15/29/

Kamis, 20 Mei 2010

Appendiksitis

1. Pengertian

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks (Anonim, Apendisitis, 2007).

2. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :

1.

Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2.

Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.


3. Etiologi

Appendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat :

1. Hiperplasia dari folikel limfoid.
2. Adanya fekalit dalam lumen appendiks.
3. Tumor appendiks.
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis.
5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.

Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan appendiksitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.

4. Tanda dan gejala

Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.

Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahuipada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.

Tand Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi klien memburuk.

5. Patofisiologi

Penyebab utama appendiksitis adalah obstuksi penyumbatan yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari polikel lympoid merupakan penyebab terbanyak adanya fekalit dalam lumen appendik.Adanya benda asing seperti : cacing,striktur karenan fibrosis akibat adanya peradangan sebelunnya.Sebab lain misalnya : keganasan (Karsinoma Karsinoid).

Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.

Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi.

Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi ; 1982).

6. Komplikasi

* Perforasi dengan pembentukan abses
* Peritonitis generalisata.
* Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.


7. Pencegahan

Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya gangren,perforasi dan peritonitis.

8. Penatalaksanaan

Pada appendiksitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang persitaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain di perut kanan bawah.

* Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirabaring dan dipuasakan.
* Tindakan operatif ; appendiktomi.
* Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.



Download Askep Appendiksitis di sini

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Appendiksitis


A. Pengkajian

1. Identitas Pasien
Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.

2. Riwayat Keperawatan
* Riwayat Kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.

* Riwayat Kesehatan masa lalu

3. Pemeriksaan Fisik
* Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.

* Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.

* Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.

* Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.

* Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.

4. Pemeriksaan Penunjang
* Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.

* Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.


Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada abdomen kuadran kanan bawah post operasi appenditomi.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi.

4. Resiko kekurangan volume cairan sehubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral.


Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1. :
Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada daerah mesial abdomen post operasi appendiktomi

Tujuan
Nyeri berkurang / hilang dengan

Kriteria Hasil :
Tampak rilek dan dapat tidur dengan tepat.

Intervensi

* Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
* Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler.
* Dorong ambulasi dini.
* Berikan aktivitas hiburan.
* Kolborasi tim dokter dalam pemberian analgetika.

Rasional

1. Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan penyembuhan,perubahan dan karakteristik nyeri.
2. Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang.
3. Meningkatkan kormolisasi fungsi organ.
4. meningkatkan relaksasi.
5. Menghilangkan nyeri.


Diagnosa Keperawatan 2. :
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri

Tujuan
Toleransi aktivitas

Kriteria Hasil :

* Klien dapat bergerak tanpa pembatasan
* Tidak berhati-hati dalam bergerak.


Intervensi

* catat respon emosi terhadap mobilitas.
* Berikan aktivitas sesuai dengan keadaan klien.
* Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif.
* Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan.

Rasional

1. Immobilisasi yang dipaksakan akan memperbesar kegelisahan.
2. Meningkatkan kormolitas organ sesuiai dengan yang diharapkan.
3. Memperbaiki mekanika tubuh.
4. Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan.


Diagnosa Keperawatan 3. :
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi

Tujuan
Infeksi tidak terjadi

Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan peradangan

Intervensi

* Ukur tanda-tanda vital
* Observasi tanda-tanda infeksi
* Lakukan perawatan luka dengan menggunakan teknik septik dan aseptik
* Observasi luka insisi

Rasional

1. Untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi
2. Deteksi dini terhadap infeksi akan mudah
3. Menurunkan terjadinya resiko infeksi dan penyebaran bakteri.
4. Memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka.


Diagnosa Keperawatan 4. :
Resiko kekurangan volume cairan berhubungna dengan pembatasan pemasuka n cairan secara oral

Tujuan
Kekurangan volume cairan tidak terjadi

Intervensi

* Ukur dan catat intake dan output cairan tubuh
* Awasi vital sign: Evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
* Kolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian cairan intra vena

Rasional

1. Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan pengganti.
2. Indikator hidrasi volume cairan sirkulasi dan kebutuhan intervensi
3. Mempertahankan volume sirkulasi bila pemasukan oral tidak cukup dan meningkatkan fungsi ginjal



Daftar Pustaka

1. Barbara Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta.
2. Carpenito, Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.
3. Doenges, Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000, Jakarta.
4. Elizabeth, J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
5. Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal Bedah (Pendekatan Gastrointestinal), EGC, Jakarta.
6. Peter, M, Nowschhenson, Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula. Bina Aksara Jakarta
Meningitis

A. Pengertian

Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).

Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).

B. Etiologi

1. Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita.
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan.


C. Klasifikasi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :

1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.


D. Patofisiologi

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.

Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.

Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

E. Manifestasi klinis

Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :

1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb :
* Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
* Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
* Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata.


F. Pemeriksaan Diagnostik

1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
* Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
* Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat (meningitis)
3. LDH serum : meningkat (meningitis bakteri)
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
5. Elektrolit darah : Abnormal.
6. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
7. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
8. Rontgen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.


G. Komplikasi

1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia (mengingocemia)
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder.

Download Askep Meningitis di sini


Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Meningitis

A. Pengkajian

1. Biodata klien.

2. Riwayat kesehatan yang lalu
* Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
* Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
* Pernahkah operasi daerah kepala ?

3. Riwayat kesehatan sekarang
* Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
* Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.
* Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
* Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
* Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
* Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
* Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis.
* Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.


B. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.

2. Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.

3. Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.

4. Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.

5. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan

6. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.


C. Intervensi

1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.
Mandiri :
* Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
* Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
* Pantau suhu secara teratur
* Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
* Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nafas dalam
* Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau)

Kolaborasi :
* Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.

2. Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri :
* Tirah baring dengan posisi kepala datar.
* Pantau status neurologis.
* Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang.
* Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
* Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.

Kolaborasi :
* Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
* Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit).
* Pantau BGA.
* erikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen.

3. Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo.
Mandiri :
* Pantau adanya kejang
* Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan.
* Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.

4. Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
Mandiri :
* Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
* Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
* Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
* Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul.

Kolaborasi :
* Berikan anal getik, asetaminofen, codein

5. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
* Kaji derajat imobilisasi pasien.
* Bantu latihan rentang gerak.
* Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
* Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
* Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.

6. Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
* Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.
* Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
* Observasi respons perilaku.
* Hilangkan suara bising yang berlebihan.
* Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
* Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
* Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.

7. Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
* Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
* Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
* Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
* Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong.


H. Evaluasi

Hasil yang diharapkan :

1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain.
2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
4. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
5. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan.
6. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
7. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi.



DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.

Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.

Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN :
PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)

Penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung bawaan adalah sekumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh darah besar yang telah ada sejak lahir. Penyakit jantung bawaan yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak. Apabila tidak dioperasi, kebanyakan akan meninggal waktu bayi. Apabila penyakit jantung bawaan ditemukan pada orang dewasa, hal ini menunjukkan bahwa pasien tersebut mampu melalui seleksi alam, atau telah mengalami tindakan operasi dini pada usia muda.
(IPD FKUI,1996 ;1134)

A. Pengertian
Duktus Arteriosus adalah saluran yang berasal dari arkus aorta ke VI pada janin yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta desendens. Pada bayi normal duktus tersebut menutup secara fungsional 10 – 15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum pada usia 2 – 3 minggu. Bila tidak menutup disebut Duktus Arteriosus Persisten (Persistent Ductus Arteriosus : PDA). (Buku ajar kardiologi FKUI, 2001 ; 227)
Patent Duktus Arteriosus adalah kegagalan menutupnya ductus arteriosus (arteri yang menghubungkan aorta dan arteri pulmonal) pada minggu pertama kehidupan, yang menyebabkan mengalirnya darah dari aorta tang bertekanan tinggi ke arteri pulmonal yang bertekanan rendah. (Suriadi, Rita Yuliani, 2001; 235)
Patent Duktus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara langsung dari aorta (tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmoner (tekanan lebih rendah). (Betz & Sowden, 2002 ; 375)


B. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :
1. Faktor Prenatal :
 Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.
 Ibu alkoholisme.
 Umur ibu lebih dari 40 tahun.
 Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan insulin.
 Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.
2. Faktor Genetik :
 Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
 Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
 Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
 Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.
(Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita, 2001 ; 109)

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamarkan oleh masalah-masalah lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya sindrom gawat nafas). Tanda-tanda kelebihan beban ventrikel tidak terlihat selama 4 – 6 jam sesudah lahir. Bayi dengan PDA kecil mungkin asimptomatik, bayi dengan PDA lebih besar dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif (CHF)
• Kadang-kadang terdapat tanda-tanda gagal jantung
• Machinery mur-mur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling nyata terdengar di tepi sternum kiri atas)
• Tekanan nadi besar (water hammer pulses) / Nadi menonjol dan meloncat-loncat, Tekanan nadi yang lebar (lebih dari 25 mm Hg)
• Takhikardia (denyut apeks lebih dari 170), ujung jari hiperemik
• Resiko endokarditis dan obstruksi pembuluh darah pulmonal.
• Infeksi saluran nafas berulang, mudah lelah
• Apnea
• Tachypnea
• Nasal flaring
• Retraksi dada
• Hipoksemia
• Peningkatan kebutuhan ventilator (sehubungan dengan masalah paru)
(Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236, Betz & Sowden, 2002 ; 376)

D. Pathways
Terlampir

E. Komplikasi
 Endokarditis
 Obstruksi pembuluh darah pulmonal
 CHF
 Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur)
 Enterokolitis nekrosis
 Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas atau displasia bronkkopulmoner)
 Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit
 Hiperkalemia (penurunan keluaran urin.
 Aritmia
 Gagal tumbuh
(Betz & Sowden, 2002 ; 376-377, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)



F. Penatalaksanaan Medis
 Penatalaksanaan Konservatif : Restriksi cairan dan bemberian obat-obatan : Furosemid (lasix) diberikan bersama restriksi cairan untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi efek kelebihan beban kardiovaskular, Pemberian indomethacin (inhibitor prostaglandin) untuk mempermudah penutupan duktus, pemberian antibiotik profilaktik untuk mencegah endokarditis bakterial.
 Pembedahan : Pemotongan atau pengikatan duktus.
 Non pembedahan : Penutupan dengan alat penutup dilakukan pada waktu kateterisasi jantung.
(Betz & Sowden, 2002 ; 377-378, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto Thorak : Atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan (kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat
2. Ekhokardiografi : Rasio atrium kiri tehadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh peningkatan volume atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan)
3. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengevaluasi aliran darah dan arahnya.
4. Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, pada PDA kecil tidak ada abnormalitas, hipertrofi ventrikel kiri pada PDA yang lebih besar.
5. Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya.
(Betz & Sowden, 2002 ;377)



H. Pengkajian
 Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas)
 Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (machinery mur-mur), edera tungkai, hepatomegali.
 Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger
 Kaji adanya hiperemia pada ujung jari
 Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
 Pengkajian psikososial meliputi : usia anak, tugas perkembangan anak, koping yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan Curah jantung b.d malformasi jantung.
2. Gangguan pertukaran gas b.d kongesti pulmonal.
3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke sel.
4. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.
6. Resiko infeksi b.d menurunnya status kesehatan.
7. Perubahan peran orang tua b.d hospitalisasi anak, kekhawatiran terhadap penyakit anak.

J. Intervensi
1. Mempertahankan curah jantung yang adekuat :
• Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit
• Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membran mukosa, clubbing)
• Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali)
• Kolaborasi pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toksisitas.
• Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload
• Berikan diuretik sesuai indikasi.

2. Mengurangi adanya peningkatan resistensi pembuluh paru:
• Monitor kualitas dan irama pernafasan
• Atur posisi anak dengan posisi fowler
• Hindari anak dari orang yang terinfeksi
• Berikan istirahat yang cukup
• Berikan nutrisi yang optimal
• Berikan oksigen jika ada indikasi

3. Mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat :
• Ijinkan anak untuk sering beristirahat, dan hindarkan gangguan pada saat tidur
• Anjurkan untuk melakukan permainan dan aktivitas ringan
• Bantu anak untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak.
• Hindarkan suhu lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin
• Hindarkan hal-hal yang menyebabkan ketakutan / kecemasan pada anak

4. Memberikan support untuk tumbuh kembang
• Kaji tingkat tumbuh kembang anak
• Berikan stimulasi tumbuh kembang, kativitas bermain, game, nonton TV, puzzle, nmenggambar, dan lain-lain sesuai kondisi dan usia anak.
• Libatkan keluarga agar tetap memberikan stimulasi selama dirawat

5. Mempertahankan pertumbuhan berat badan dan tinggi badan yang sesuai
• Sediakan diit yang seimbang, tinggi zat-zat nutrisi untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat
• Monitor tinggi badan dan berat badan, dokumentasikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan anak
• Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama dan waktu yang sama
• Catat intake dan output secara benar
• Berikan makanan dengan porsi kecil tapi sering untuk menghindari kelelahan pada saat makan
• Anak-anak yang mendapatkan diuretik biasanya sangat haus, oleh karena itu cairan tidak dibatasi.

6. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi
• Hindari kontak dengan individu yang terinfeksi
• Berikan istirahat yang adekuat
• Berikan kebutuhan nutrisi yang optimal

7. Memberikan support pada orang tua
• Ajarkan keluarga / orang tua untuk mengekspresikan perasaannya karena memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskudikan rencana pengobatan, dan memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan
• Ekplorasi perasaan orang tua mengenai perasaan ketakutan, rasa bersalah, berduka, dan perasaan tidak mampu
• Mengurangi ketakutan dan kecemasan orang tua dengan memberikan informasi yang jelas
• Libatkan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit
• Memberikan dorongan kepada keluarga untuk melibatkan anggota keluarga lain dalama perawatan anak.

K. Hasil Yang Diharapkan
1. Anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung
2. Anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru
3. Anaka akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat
4. Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi badan
5. Anaka akan mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan
6. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi
7. Orang tua akan mengekspresikan perasaannya akibat memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan.

L. Perencanaan Pemulangan
• Kontrol sesuai waktu yang ditentukan
• Jelaskan kebutuhan aktiviotas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan usia dan kondisi penyakit
• Mengajarkan ketrampilan yang diperlukan di rumah, yaitu :
- Teknik pemberian obat
- Teknik pemberian makanan
- Tindakan untuk mengatasi jika terjadi hal-hal yang mencemaskan tanda-tanda komplikasi, siapa yang akan dihubungi jika membutuhkan pertolongan.
Asuhan Keperawatan Strooke Non Hemoragik

A. Pengertian

Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002 dalam ekspresiku-blogspot 2008).

Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro Vaskuar Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik) atau secara cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu.(Harsono, 1996).

Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vascular.

B. Etiologi

Penyebab-penyebabnya antara lain:

1. Trombosis (bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak).
2. Embolisme cerebral (bekuan darah atau material lain).
3. Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak).(Smeltzer C. Suzanne, 2002).


C. Faktor resiko pada stroke

1. Hipertensi
2. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif)
3. Kolesterol tinggi
4. Obesitas
5. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
6. Diabetes Melitus (berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
7. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan kadar estrogen tinggi)
8. Penyalahgunaan obat ( kokain)
9. Konsumsi alkohol (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131).


D. Manifestasi Klinis

Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu.
Gejala-gejala itu antara lain bersifat::

1. Sementara Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.
2. Sementara,namun lebih dari 24 jam, Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit (RIND).
3. Gejala makin lama makin berat (progresif) Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut progressing stroke atau stroke inevolution.
4. Sudah menetap/permanen (Harsono,1996, hal 67).


E. Pemeriksaan Penunjang

1. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark.
2. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
3. Pungsi Lumbal
* Menunjukan adanya tekanan normal.
* Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
6. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.(DoengesE, Marilynn,2000).


G. Penatalaksanaan

1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral.
2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131).


RATUSAN JUTA?? Gampang dr Internet. Buktikan!!!
Berita Update di Satu Halaman ? Roabaca.com Solusi
MAU BISNIS ONLINE??KLIK DISINI !!
HANYA 50 Rb SISTEM PENGHASIL UANG OTOMATIS-NEW!
BISNIS COCOK UNTUK PEMULA Mudah dijalankan
BONUS DAN REJEKI ANDA ADA DISINI
HEBAT!! www.lancarindo.com BISA MENGHASILKAN JUTAA
TERBUKTI MEMBAYAR ANDA DAN TERPERCAYA
SAYA MENGHASILKAN UANG Rp.5.115.206 DALAM 1 HARI
kursus KILAT Bhs Inggris WWW.TEGUHHANDOKO.COM
ANDA DICARIKAN DOWNLINE DAN PASTI SUKSES
MODAL 50.000 BISA DPT 111JT/4BLN+250 PRODUK BONUS
TAKUT SUKSES JANGAN DI KLIK
KumpulBlogger.com

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Strooke Non Hemoragic (SNH)


A. Pengkajian

1. Pengkajian Primer
* Airway.
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
* Breathing.
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi.
* Circulation.
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.

2.
Pengkajian Sekunder
* Aktivitas dan istirahat.
Data Subyektif:
o kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
o Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot).
Data obyektif:
o Perubahan tingkat kesadaran.
o Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis (hemiplegia), kelemahan umum.
o Gangguan penglihatan.

* Sirkulasi
Data Subyektif:
o Riwayat penyakit jantung (penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial), polisitemia.
Data obyektif:
o Hipertensi arterial
o Disritmia, perubahan EKG
o Pulsasi : kemungkinan bervariasi
o Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal.

* Integritas ego
Data Subyektif:
o Perasaan tidak berdaya, hilang harapan.
Data obyektif:
o Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan.
o Kesulitan berekspresi diri.

* Eliminasi
Data Subyektif:
o Inkontinensia, anuria
o Distensi abdomen (kandung kemih sangat penuh), tidak adanya suara usus(ileus paralitik)

* Makan/ minum
Data Subyektif:
o Nafsu makan hilang.
o Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK.
o Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia.
o Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah.

Data obyektif:
o Problem dalam mengunyah (menurunnya reflek palatum dan faring)
o Obesitas (faktor resiko).

* Sensori Neural
Data Subyektif:
o Pusing / syncope (sebelum CVA / sementara selama TIA).
o Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
o Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati.
o Penglihatan berkurang.
o Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka ipsilateral (sisi yang sama).
o Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.

Data obyektif:
o Status mental : koma biasanya menandai stadium perdarahan, gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif.
o Ekstremitas : kelemahan / paraliysis (kontralateral) pada semua jenis stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam (kontralateral).
o Wajah: paralisis / parese (ipsilateral).
o Afasia (kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa), kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.
o Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil.
o Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik.
o Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi lateral.

* Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
o Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya.

Data obyektif:
o Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial.

* Respirasi
Data Subyektif:
o Perokok (factor resiko).

* Keamanan
Data obyektif:
o Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan.
o Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit.
o Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali.
o Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh.
o Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang kesadaran diri.

*
Interaksi social
Data obyektif:
o Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi.
(Doenges E, Marilynn,2000).


B. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral.
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d keterlibatan neuromuskuler, kelemahan, parestesia, flaksid/ paralysis hipotonik, paralysis spastis. Kerusakan perceptual / kognitif.
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan.


C. Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1. :
Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral.
Kriteria Hasil :
* Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi sensori / motor.
* Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK.
* Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran / kekambuhan.
Intervensi :
Independen
* Tentukan factor factor yang berhubungan dengan situasi individu/ penyebab koma / penurunan perfusi serebral dan potensial PTIK.
* Monitor dan catat status neurologist secara teratur.
* Monitor tanda tanda vital.
* Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya).
* Bantu untuk mengubah pandangan , misalnay pandangan kabur, perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang.
* Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi.
* Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral.
* Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang , atur kunjungan sesuai indikasi.
* Berikan suplemen oksigen sesuai indikasi.
* Berikan medikasi sesuai indikasi :
o Antifibrolitik, misal aminocaproic acid (amicar).
o Antihipertensi.
o Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine.
o Manitol.

Diagnosa Keperawatan 2. :
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kerusakan batuk, ketidakmampuan mengatasi lendir.
Kriteria Hasil:
* Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas.
* Ekspansi dada simetris.
* Bunyi napas bersih saat auskultasi.
* Tidak terdapat tanda distress pernapasan.
* GDA dan tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
* Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi.
* Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal.
* Penghisapan sekresi.
* Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam.
* Berikan oksigenasi sesuai advis.
* Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi.

Diagnosa Keperawatan 3. :
Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :
* Pola nafas pasien efektif
Kriteria Hasil:
* RR 18-20 x permenit
* Ekspansi dada normal.
Intervensi :
* Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
* Auskultasi bunyi nafas.
* Pantau penurunan bunyi nafas.
* Pastikan kepatenan O2 binasal.
* Berikan posisi yang nyaman : semi fowler.
* Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam.
* Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan.


DAFTAR PUSTAKA

Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.

Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993.

Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996.

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC, 2002.

Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000.

Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996.

Label: Keperawatan Bedah ( Syaraf )
ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) ASTHMA BRONKHIALE


ASTHMA BRONKHIALE

A. Pengertian

Asthma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
Asthma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).
Asthma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Asthma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon.
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society).


B. Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkhial.

1. Faktor predisposisi
* Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
* Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
* Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
* Stress.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
* Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
* Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.


C. Klasifikasi Asthma

Berdasarkan penyebabnya, asthma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.


D. Patofisiologi

Asthma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asthma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asthma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.


E. Manifestasi Klinik

Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :

1. Tingkat I :
* Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
* Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
2. Tingkat II :
* Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
* Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3. Tingkat III :
* Tanpa keluhan.
* Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
* Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV :
* Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
* Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat V :
* Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
* Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih, takikardi.


F. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium.
* Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
o Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
o Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
o Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
o Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
* Pemeriksaan darah.
o Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
o Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
o Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
o Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
* Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
* Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
* Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
* Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
* Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
4. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
* Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
* Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
* Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
5. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
6. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.


G. Penatalaksanaan

1. Pengobatan farmakologik :
* Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin).
Nama obat :
o Orsiprenalin (Alupent)
o Fenoterol (berotec)
o Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.
2. Santin (teofilin)
Nama obat :
o Aminofilin (Amicam supp)
o Aminofilin (Euphilin Retard)
o Teofilin (Amilex)

Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
* Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
* Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
2. Pengobatan non farmakologik:
* Memberikan penyuluhan.
* Menghindari faktor pencetus.
* Pemberian cairan.
* Fisiotherapy.
* Beri O2 bila perlu.



ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASTHMA BRONKHIALE


A. Pengkajian

1. Riwayat kesehatan yang lalu:
* Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
* Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
* Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2. Aktivitas
* Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
* Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
* Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3. Pernapasan
* Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
* Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
* Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
* Adanya bunyi napas mengi.
* Adanya batuk berulang.
4. Sirkulasi
* Adanya peningkatan tekanan darah.
* Adanya peningkatan frekuensi jantung.
* Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
* Kemerahan atau berkeringat.
5. Integritas ego
* Ansietas
* Ketakutan
* Peka rangsangan
* Gelisah
6. Asupan nutrisi
* Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
* Penurunan berat badan karena anoreksia.
7. Hubungan sosal
* Keterbatasan mobilitas fisik.
* Susah bicara atau bicara terbata-bata.
* Adanya ketergantungan pada orang lain.
8. Seksualitas
* Penurunan libido.


B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul

1. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
2. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.


C. Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1 :
Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :

* Sesak berkurang
* Batuk berkurang
* Klien dapat mengeluarkan sputum
* Wheezing berkurang/hilang
* TTV dalam batas normal keadaan umum baik.

Intervensi :

* Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : mengi, erekeis, ronkhi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
* Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
R/ Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dpat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
* Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada sandaran.
R/ Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
* Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan.
* Berikan air hangat.
R/ penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
* Kolaborasi obat sesuai indikasi.Bronkodilator spiriva 1x1 (inhalasi).
R/ Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.


Diagnosa Keperawatan 2 :
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan : Pola nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :

* Pola nafas efektif
* Bunyi nafas normal atau bersih
* TTV dalam batas normal
* Batuk berkurang
* Ekspansi paru mengembang.

Intervensi :

* Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada.
* Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti crekels, mengi.
R/ ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
* Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
* Observasi pola batuk dan karakter sekret.
R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
* Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
R/ Dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.
* Kolaborasi
o Berikan oksigen tambahan.
o Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer.
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.


Diagnosa Keperawatan 3 :
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :

* Keadaan umum baik
* Mukosa bibir lembab
* Nafsu makan baik
* Tekstur kulit baik
* Klien menghabiskan porsi makan yang disediakan
* Bising usus 6-12 kali/menit
* Berat badan dalam batas normal.

Intervensi :

* Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
R/ Menentukan dan membantu dalam intervensi lanjutnya.
* Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
R/ Petikan pengetahuan klien dapat menaikan partisi bagi klien dalam asuhan keperawatan.
* Timbang berat badan dan tinggi badan.
R/ Penurunan berat badan yang signipikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.
* Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
R/ Air hangat dapat mengurangi mual.
* Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering.
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
* Kolaborasi
o Consul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
R/ Menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
o Berikan obat sesuai indikasi.
o Vitamin B squrb 2x1.
R/ Defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
o Antiemetik rantis 2x1
R/ untuk menghilangkan mual / muntah.



DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. (1990) "Asma Bronchiale", dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart (2002) "Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah", Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) "Penanganan Asma dalam Penyakit Primer", Jakarta : Hipocrates.
Crompton, G. (1980) "Diagnosis and Management of Respiratory Disease", Blacwell Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) "Buku Ajar Fisiologi Kedokteran", Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) "Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik", Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) "Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit", Jakarta : EGC.
Pullen, R. L. (1995) "Pulmonary Disease", Philadelpia : Lea & Febiger.
Rab, T. (1996) "Ilmu Penyakit Paru", Jakarta : Hipokrates.
Rab, T. (1998) "Agenda Gawat Darurat", Jakarta : Hipokrates.
Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) "Keperawatan Medikal Bedah", Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) "Ilmu Kesehatan Anak", Jakarta : Info Medika.
Sundaru, H. (1995) "Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya", Jakarta : FK UI.

Label: Keperawatan Medikal